Jumat, 19 November 2010

Persaingan Dunia Usaha & Industri




Sumberdaya manusia (SDM) merupakan salah satu faktor kunci dalam reformasi ekonomi, yakni bagaimana menciptakan
SDM yang berkualitas dan memiliki keterampilan serta berdaya saing tinggi dalam persaingan global yang selama ini kita
abaikan. Dalam kaitan tersebut setidaknya ada dua hal penting menyangkut kondisi SDM Indonesia, yaitu:

Pertama adanya ketimpangan antara jumlah kesempatan kerja dan angkatan kerja. Jumlah angkatan kerja nasional pada
krisis ekonomi tahun pertama (1998) sekitar 92,73 juta orang, sementara jumlah kesempatan kerja yang ada hanya
sekitar 87,67 juta orang dan ada sekitar 5,06 juta orang penganggur terbuka (open unemployment). Angka ini meningkat
terus selama krisis ekonomi yang kini berjumlah sekitar 8 juta.
Kedua, tingkat pendidikan angkatan kerja yang ada masih relatif rendah. Struktur pendidikan angkatan kerja Indonesia
masih didominasi pendidikan dasar yaitu sekitar 63,2 %. Kedua masalah tersebut menunjukkan bahwa ada kelangkaan
kesempatan kerja dan rendahnya kualitas angkatan kerja secara nasional di berbagai sektor ekonomi.

Lesunya dunia usaha akibat krisis ekonomi yang berkepanjangan sampai saat ini mengakibatkan rendahnya kesempatan
kerja terutama bagi lulusan perguruan tinggi. Sementara di sisi lain jumlah angkatan kerja lulusan perguruan tinggi terus
meningkat. Sampai dengan tahun 2000 ada sekitar 2,3 juta angkatan kerja lulusan perguruan tinggi. Kesempatan kerja
yang terbatas bagi lulusan perguruan tinggi ini menimbulkan dampak semakin banyak angka pengangguran sarjana di
Indonesia.
Menurut catatan Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi (Ditjen Dikti) Depdiknas angka pengangguran sarjana di

Indonesia
lebih dari 300.000 orang.
Fenomena meningkatnya angka pengangguran sarjana seyogyanya perguruan tinggi ikut bertanggungjawab. Fenomena
penganguran sarjana merupakan kritik bagi perguruan tinggi, karena ketidakmampuannya dalam menciptakan iklim
pendidikan yang mendukung kemampuan wirausaha mahasiswa.
Masalah SDM inilah yang menyebabkan proses pembangunan yang berjalan selama ini kurang didukung oleh
produktivitas tenaga kerja yang memadai. Itu sebabnya keberhasilan pembangunan yang selama 32 tahun dibanggakan
dengan tingkat pertumbuhan rata-rata 7%, hanya berasal dari pemanfaatan sumberdaya alam intensif (hutan, dan hasil
tambang), arus modal asing berupa pinjaman dan investasi langsung. Dengan demikian, bukan berasal dari kemampuan
manajerial dan produktivitas SDM yang tinggi. Keterpurukan ekonomi nasional yang berkepanjangan hingga kini
merupakan bukti kegagalan pembangunan akibat dari rendahnya kualitas SDM dalam menghadapi persaingan ekonomi
global.
Kenyataan ini belum menjadi kesadaran bagi bangsa Indonesia untuk kembali memperbaiki kesalahan pada masa lalu.
Rendahnya alokasi APBN untuk sektor pendidikan -- tidak lebih dari 12% -- pada peme-rintahan di era reformasi. Ini
menunjukkan bahwa belum ada perhatian serius dari pemerintah pusat terhadap perbaikan kualitas SDM. Padahal sudah
saatnya pemerintah baik tingkat pusat maupun daerah secara serius membangun SDM yang berkualitas. Sekarang bukan
saatnya lagi Indonesia membangun perekonomian dengan kekuatan asing. Tapi sudah seharusnya bangsa Indonesia
secara benar dan tepat memanfaatkan potensi sumberdaya daya yang dimiliki (resources base) dengan kemampuan
SDM yang tinggi sebagai kekuatan dalam membangun perekonomian nasional.

Orang tidak bekerja alias pengangguran merupakan masalah bangsa yang tidak pernah selesai. Ada tiga hambatan yang
menjadi alasan kenapa orang tidak bekerja, yaitu hambatan kultural, kurikulum sekolah, dan pasar kerja. Hambatan
kultural yang dimaksud adalah menyangkut budaya dan etos kerja. Sementara yang menjadi masalah dari kurikulum
sekolah adalah belum adanya standar baku kurikulum pengajaran di sekolah yang mampu menciptakan dan
mengembangkan kemandirian SDM yang sesuai dengan kebutuhan dunia kerja. Sedangkan hambatan pasar kerja lebih
disebabkan oleh rendahnya kualitas SDM yang ada untuk memenuhi kebutuhan pasar kerja.

Ekonomi abad ke-21, yang ditandai dengan globalisasi ekonomi, merupakan suatu proses kegiatan ekonomi dan
perdagangan, di mana negara-negara di seluruh dunia menjadi satu kekuatan pasar yang semakin terintegrasi dengan
tanpa rintangan batas teritorial negara. Globalisasi yang sudah pasti dihadapi oleh bangsa Indonesia menuntut adanya
efisiensi dan daya saing dalam dunia usaha. Dalam globalisasi yang menyangkut hubungan intraregional dan
internasional akan terjadi persaingan antarnegara. Indonesia dalam kancah persaingan global menurut World
Competitiveness Report menempati urutan ke-45 atau terendah dari seluruh negara yang diteliti, di bawah Singapura (8),
Malaysia (34), Cina (35), Filipina (38), dan Thailand (40).
Perwujudan nyata dari globalisasi ekonomi yang akan dihadapi bangsa Indonesia antara lain terjadi dalam bentuk-bentuk
berikut: Produksi, di mana perusahaan berproduksi di berbagai negara, dengan sasaran agar biaya produksi menjadi
lebih rendah. Hal ini dilakukan baik karena upah buruh yang rendah, tarif bea masuk yang murah, infrastruktur yang
memadai ataupun karena iklim usaha dan politik yang kondusif. Dunia dalam hal ini menjadi lokasi manufaktur global.
Pembiayaan. Perusahaan global mempunyai akses untuk memperoleh pinjaman atau melakukan investasi (baik dalam
bentuk portofolio ataupun langsung) di semua negara di dunia. Sebagai contoh, PT Telkom dalam memperbanyak satuan
sambungan telepon, atau PT Jasa Marga dalam memperluas jaringan jalan tol telah memanfaatkan sistem pembiayaan
dengan pola BOT (build-operate-transfer) bersama mitrausaha dari mancanegara.
Tenaga kerja. Perusahaan global akan mampu memanfaatkan tenaga kerja dari seluruh dunia sesuai kelasnya, seperti
penggunaan staf profesional diambil dari tenaga kerja yang telah memiliki pengalaman internasional danatau buruh
diperoleh dari negara berkembang. Dengan globalisasi maka human movement akan semakin mudah dan bebas.

Jaringan informasi. Masyarakat suatu negara dengan mudah dan cepat mendapatkan informasi dari negara-negara di
dunia karena kemajuan teknologi, antara lain melalui: TV, radio, media cetak dan lain-lain. Dengan jaringan komunikasi
yang semakin maju telah membantu meluasnya pasar ke berbagai belahan dunia untuk barang yang sama. Sebagai
contoh KFC, Hoka Hoka Bento, Mac Donald, dll melanda pasar di mana-mana. Akibatnya selera masyarakat dunia --baik
yang berdomisili di kota maupun di desa-- menuju pada selera global.
Perdagangan. Hal ini terwujud dalam bentuk penurunan dan penyeragaman tarif serta penghapusan berbagai hambatan
nontarif. Dengan demikian kegiatan perdagangan dan persaingan menjadi semakin ketat dan fair. Bahkan, transaksi
menjadi semakin cepat karena "less papers/documents" dalam perdagangan, tetapi dapat mempergunakan jaringan
teknologi telekomunikasi yang semakin canggih.

Dengan kegiatan bisnis korporasi (bisnis corporate) di atas dapat dikatakan bahwa globalisasi mengarah pada
meningkatnya ketergantungan ekonomi antarnegara melalui peningkatan volume dan keragaman transaksi antarnegara
(cross-border transactions) dalam bentuk barang dan jasa, aliran dana internasional (international capital flows),
pergerakan tenaga kerja (human movement) dan penyebaran teknologi informasi yang cepat. Sehingga secara sederhana
dapat dikemukakan bahwa globalisasi secara hampir pasti telah merupakan salah satu kekuatan yang memberikan
pengaruh terhadap bangsa, masyarakat, kehidupan manusia, lingkungan kerja dan kegiatan bisnis corporate di
Indonesia. Kekuatan ekonomi global menyebabkan bisnis korporasi perlu melakukan tinjauan ulang terhadap struktur dan
strategi usaha serta melandaskan strategi manajemennya dengan basis entrepreneurship, cost efficiency dan competitive
advantages.

Masalah daya saing dalam pasar dunia yang semakin terbuka merupakan isu kunci dan tantangan yang tidak ringan.
Tanpa dibekali kemampuan dan keunggulan saing yang tinggi niscaya produk suatu negara, termasuk produk Indonesia,
tidak akan mampu menembus pasar internasional. Bahkan masuknya produk impor dapat mengancam posisi pasar
domestik. Dengan kata lain, dalam pasar yang bersaing, keunggulan kompetitif (competitive advantage) merupakan faktor
yang desisif dalam meningkatkan kinerja perusahaan. Oleh karena itu, upaya meningkatkan daya saing dan membangun
keunggulan kompetitif bagi produk Indonesia tidak dapat ditunda-tunda lagi dan sudah selayaknya menjadi perhatian
berbagai kalangan, bukan saja bagi para pelaku bisnis itu sendiri tetapi juga bagi aparat birokrasi, berbagai organisasi
dan anggota masyarakat yang merupakan lingkungan kerja dari bisnis corporate.

Realitas globalisasi yang demikian membawa sejumlah implikasi bagi pengembangan SDM di Indonesia. Salah satu
tuntutan globalisasi adalah daya saing ekonomi. Daya saing ekonomi akan terwujud bila didukung oleh SDM yang handal.
Untuk menciptakan SDM berkualitas dan handal yang diperlukan adalah pendidikan. Sebab dalam hal ini pendidikan
dianggap sebagai mekanisme kelembagaan pokok dalam mengembangkan keahlian dan pengetahuan. Pendidikan
merupakan kegiatan investasi di mana pembangunan ekonomi sangat berkepentingan. Sebab bagaimanapun
pembangunan ekonomi membutuhkan kualitas SDM yang unggul baik dalam kapasitas penguasaan IPTEK maupun
sikap mental, sehingga dapat menjadi subyek atau pelaku pembangunan yang handal. Dalam kerangka globalisasi,
penyiapan pendidikan perlu juga disinergikan dengan tuntutan kompetisi. Oleh karena itu dimensi daya saing dalam SDM
semakin menjadi faktor penting sehingga upaya memacu kualitas SDM melalui pendidikan merupakan tuntutan yang
harus dikedepankan.

Salah satu problem struktural yang dihadapi dalam dunia pendidikan adalah bahwa pendidikan merupakan subordinasi
dari pembangunan ekonomi. Pada era sebelum reformasi pembangunan dengan pendekatan fisik begitu dominan. Hal
ini sejalan dengan kuatnya orientasi pertumbuhan ekonomi. Visi pembangunan yang demikian kurang kondusif bagi
pengembangan SDM, sehingga pendekatan fisik melalui pembangunan sarana dan prasarana pendidikan tidak
diimbangi dengan tolok ukur kualitatif atau mutu pendidikan.

Problem utama dalam pembangunan sumberdaya manusia adalah terjadinya missalocation of human resources. Pada
era sebelum reformasi, pasar tenaga kerja mengikuti aliran ekonomi konglomeratif. Di mana tenaga kerja yang ada
cenderung memasuki dunia kerja yang bercorak konglomeratif yaitu mulai dari sektor industri manufaktur sampai dengan
perbankan. Dengan begitu, dunia pendidikan akhirnya masuk dalam kemelut ekonomi politik, yakni terjadinya
kesenjangan ekonomi yang diakselerasi struktur pasar yang masih terdistorsi.

Kenyataan menunjukkan banyak lulusan terbaik pendidikan masuk ke sektor-sektor ekonomi yang justru bukannya
memecahkan masalah ekonomi, tapi malah memperkuat proses konsentrasi ekonomi dan konglomerasi, yang
mempertajam kesenjangan ekonomi. Hal ini terjadi karena visi SDM terbatas pada struktur pasar yang sudah ada dan
belum sanggup menciptakan pasar sendiri, karena kondisi makro ekonomi yang memang belum kondusif untuk itu. Di
sinilah dapat disadari bahwa visi pengembangan SDM melalui pendidikan terkait dengan kondisi ekonomi politik yang
diciptakan pemerintah.
Sementara pada pascareformasi belum ada proses egalitarianisme SDM yang dibutuhkan oleh struktur bangsa yang
dapat memperkuat kemandirian bang sa. Pada era reformasi yang terjadi barulah relatif tercipta reformasi politik dan
belum terjadi reformasi ekonomi yang substansial terutama dalam memecahkan problem struktural seperti telah
diuraikan di atas. Sistem politik multipartai yang telah terjadi dewasa ini justru menciptakan oligarki partai untuk
mempertahankan kekuasaan. Pemilu 1999 yang konon merupakan pemilu paling demokratis telah menciptakan oligarki
politik dan ekonomi. Oligarki ini justru bisa menjadi alasan mengelak terhadap pertanggungjawaban setiap kegagalan
pembangunan.

Dengan demikian, pada era reformasi dewasa ini, alokasi SDM masih belum mampu mengoreksi kecenderungan
terciptanya konsentrasi ekonomi yang memang telah tercipta sejak pemerintahan masa lalu. Sementara di sisi lain
Indonesia kekurangan berbagai keahlian untuk mengisi berbagai tuntutan globalisasi. Pertanyaannya sekarang adalah
bahwa keterlibatan Indonesia pada liberalisasi perdagangan model AFTA, APEC dan WTO dalam rangka untuk apa?
Bukankah harapannya dengan keterlibatan dalam globalisasi seperti AFTA, APEC dan WTO masalah kemiskinan dan
pengangguran akan terpecahkan.

Dengan begitu, seandainya bangsa Indonesia tidak bisa menyesuaikan terhadap pelbagai kondisionalitas yang tercipta
akibat globalisasi, maka yang akan terjadi adalah adanya gejala menjual diri bangsa dengan hanya mengandalkan
sumberdaya alam yang tak terolah dan buruh yang murah. Sehingga yang terjadi bukannya terselesaikannya
masalah-masalah sosial ekonomi seperti kemiskinan, pengangguran dan kesenjangan ekonomi, tetapi akan semakin
menciptakan ketergantungan kepada negara maju karena utang luar negeri yang semakin berlipat.

Oleh karena itu, untuk mengantisipasi tuntutan globalisasi seyogyanya kebijakan link and match mendapat tempat
sebagai sebuah strategi yang mengintegrasikan pembangunan ekonomi dengan pendidikan. Namun sayangnya ide link
and match yang tujuannya untuk menghubungkan kebutuhan tenaga kerja dengan dunia pendidikan belum ditunjang oleh
kualitas kurikulum sekolah yang memadai untuk menciptakan lulusan yang siap pakai. Yang lebih penting dalam hal ini
adalah strategi pembangunan dan industrialisasi secara makro yang seharusnya berbasis sumberdaya yang dimiliki,
yakni kayanya sumberdaya alam (SDA). Kalau strategi ini tidak diciptakan maka yang akan terjadi adalah proses
pengulangan kegagalan karena terjebak berkelanjutannya ketergantungan kepada utang luar negeri, teknologi, dan
manajemen asing. Sebab SDM yang diciptakan dalam kerangka mikro hanya semakin memperkuat proses
ketergantungan tersebut.

Bangsa Indonesia sebagai negara yang kaya akan SDA, memiliki posisi wilayah yang strategis (geo strategis), yakni
sebagai negara kepulauan dengan luas laut 2/3 dari luas total wilayah; namun tidak mampu mengembalikan manfaat
sumber kekayaan yang dimiliki kepada rakyat. Hal ini karena strategi pembangunan yang diciptakan tidak membangkitkan
local genuin. Yang terjadi adalah sumber kekayaan alam Indonesia semakin mendalam dikuasai oleh asing. Sebab
meskipun andaikata bangsa ini juga telah mampu menciptakan SDM yang kualifaid terhadap semua level IPTEK, namun
apabila kebijakan ekonomi yang diciptakan tidak berbasis pada sumberdaya yang dimiliki (resources base), maka
ketergantungan ke luar akan tetap berlanjut dan semakin dalam.

Oleh karena itu harus ada shifting paradimn, agar proses pembangunan mampu mendorong terbentuknya berbagai
keahlian yang bisa mengolah SDA dan bisa semakin memandirikan struktur ekonomi bangsa. Supaya visi tersebut pun
terjadi di berbagai daerah, maka harus ada koreksi total kebijakan pembangunan di tingkat makro dengan berbasiskan
kepada pluralitas daerah. Dengan demikian harapannya akan tercipta SDM yang mampu memperjuangkan kebutuhan
dan penguatan masyarakat lokal. Karena untuk apa SDM diciptakan kalau hanya akan menjadi perpanjangan sistem
kapitalisme global dengan mengorbankan kepentingan lokal dan nasional.

Rabu, 10 November 2010

END USER COMPUTING

A. DEFINISI END-USER COMPUTING
Selama tahun tahun terakhir ini ,banyak pemakai telah mengambil inisiatif untuk mengembangkan aplikasi mereka sendiri dari pada bergantung sepenuhnya pada para specialist informasi. Pendekatan ini dinamakan end-user computing atau EUC. Namun pemakai dapat menggunakan para specialist informasi untuk melaksanakan pekerjaan pengembangan atau untuk menjadi konsultan.

B. LATAR BELAKANG MUNCULNYA EUC
Bila CIO mempunyai pengaruh, sumber-sumber informasi perusahaan juga akan mengalami perubahan. Selama beberapa tahun, trend operasi pelayanan informasi terpusat telah berubah menjadi trend pendistribusian sumber-sumber komputerisasi keseluruh perusahaan, terutama dalam bentuk mikrokomputer.
Sebagian besar dari peralatan yang didistribusikan ini digunakan oleh pemakaian yang tidak mempunyai pemahaman komputer secara khusus. Aplikasi-aplikasi dari pemakai ini terdiri atas software tertulis yang telah dibuat oleh bagian unit pelayanan informasi atau diperoleh dari sumber-sumber luar. Namun demikian, ada juga pemakai yang hanya mengunakan komputer. Mereka ini juga mendisain dan mengimplementasikan aplikasinya sendiri.
Sekarang perusahaan dihadapkan pada tantangan untuk mengolah sumber-sumber informasi yang tersebar tersebut . dalam bagian in, kita akan meneliti gejal-gejalanya dan mencari beberapa cara yang dapat dilakukan oleh perusahaan agar ia dapat mencapai tingkat kontrol yang diharapkan.

C. END – USER COMPUTING sebagai masalah strategis
Para pemakai akhir dapat dikelompokkan menjadi 4 golongan berdasarkan kemampuan komputer .
1. Pemakai Akhir tingkat menu (menu- level end– users)
Yaitu pemakai akhir yang tidak mapu menciptakan perangkat lunak sendiri tetapi dapat berkomunikasi dengan perangkat lunak jadi dengan menggunakan menu yang ditampilkan oleh perangkat lunak berbasis Windows dan Mac

2. Pemakai akhir tingkat perintah (command level end-users)
Pemakai akhir memiliki kemampuan menggunakan perangkat lunak jadi untuk memilih menu dan menggunakan bahasa perintah dari perangkat lunak untuk melaksanakan operasi aritmatika dan logika pada data.
3. Pemakai akhir tingkat programmer (end-user programmer)
Pemakai akhir dapat menggunakan bahasa-bahasa pemrograman seperti BASIC atau   C++ dan mengembangkan program-program sesuai kebutuhan.
4. Personil pendukung fungsional
Yaitu spesialis informasi dalam arti sesungguhnya tetapi mereka berdidikasi pada area pemakai tertentu dan melapor pada manajer fungsional mereka.

D. JENIS – JENIS APLIKASI END – USER COMPUTING

Sebagian besar aplikasi end-user computing dibatasi pada:
• Sistem pendukung keputusan (DSS) yang relatif mudah
• Aplikasi kantor virtual yang memenuhi kebutuhan perseorangan Selebihnya adalah tanggung jawab spesialis informasi untuk bekerja sama dengan pemakai dalam mengembangkan:
• Aplikasi SIM dan SIA
• DSS yang rumit
• Aplikasi kantor virtual yang memenuhi kebutuhan organisasional
• Sistem berbasis pengetahuan

E. MANFAAT END – USER COMPUTING :


  • EUC menyeimbangkan kemampuan pengembang dengan tantangan sistem EUC menghilangkan atau mengurangi kesenjangan komunikasi antara pemakai dan spesialis informasi.
  • Kreasi, pengendalian, dan implementasi oleh pemakai
  • Sistem yang memenuhi kebutuhan pemakai
  • Ketepatan waktu
  • Membebaskan sumber daya sistem
  • Kefleksibilitasan dan kemudahan penggunaan

F. APLIKASI END-USER POTENSIAL
End-user computing hanya terbatas pada aplikasi DSS dan otomatisasi kantor, seperti word processing, pengiriman elektronik, dan pengkalenderan elektronik, yang dapat disesuaikan dengan sekelompok kecil pemakai. Dengan memahami aplikasi yang mana yang mungkin dikembangkan dan yang mungkin tidak bisa dikembangkan oleh end-user , maka hal ini akan menjadi teka-teki bagi arah perkembangan end-user computing. Ia memberikan indikasi mengenai bagaimana end-user dan spesialis informasi akan berdampingan dimasa mendatang.
G. RESIKO END – USER COMPUTING:

Perusahaan dihadapkan pada resiko ketika para pemakai mengembangkan sistem mereka sendiri antara lain adalah :
  • Sistem yang buruk sasarannya
  • Sistem yang buruk rancangan dan dokumentasinya.
  • Penggunaan Sumber daya informasi yang tidak efisien
  • Hilangnya Integritas Data
  • Hilangnya keamanan
  • Hilangnya pengendalian
Resiko di atas dapat berkurang jika jasa informasi yang mengembangkan sistem, karena adanya pengendalian terpusat.

H. JENIS END-USER COMPUTING
Salah satu study pertama mengenai end-user dilakukan pada tahun 1993 oleh John Rockart dari MIT dan Lauren S. Flannery, seorang mahasiswa jurusan MIT. Mereka menginterview 200 end-user ditujuh perusahaan dan menidentifikasi enam jenis, yaitu:
1. End-User Non-Pemrograman. Pemakai (user) ini hanya mempunyai pemahaman komputer yang sedikit atau mungkin tak punya sama sekali, dan ia hanya menggunakan sofware yang telah dibuat oleh orang lain. Ia berkomunikasi dengan hadware dengan bantuan menu dan mengandalkan orang lain untuk memberikan bantuan teknis.
2. User Tingkatan Perintah. Pemakai (user) ini menggunakan sofware tertulis yang telah tersedia, namun ia juga menggunakan 4GL untuk mengakses database dan membuat laporan khusus.
3. Progemmer End-User. Selain menggunakan sofware tertulis dan 4GL, pemakaian ini juga dapat menulis programnya sendiri dan menggunakan bahasa programan. Karena ia mempunyai pemahaman komputer yang lebih baik, ia biasanya menghasilkan informasi untuk pemakian non-programan dan pemakai tingkat perintah. Contoh pemakai jenis ini adalah aktuaris (penaksir), analis keuangan, dan insiyur.
4. Personel Pendukung Fungsional. Pemakai ini ditugaskan di unit fungsional perusahaan dan menangani penggunaan komputer. Ia mempunyai tingkatan sebagai ahli seperti yang ada di unit pelayanan informasi.
5. Personel Pendukung Komputerisasi End-User. Spesialis informasi ini ditugaskan di unit pelayanan informasi, namun membantu end-user dalam pengembangan sistem.
6. Programmer DP. Ia merupakan golongan programer khusus, yang ditugaskan di pelayanan informasi, yang diharapkan memberikan dukungan kepada end-user. Dukungan ini biasanya diberikan untuk menentukan harga kontrak.
I. FAKTOR YANG MENDORONG END-USER COMPUTING
Pada sebagian besar perusahaan, bagian pelayanan informasi terlalu banyak muatan kerja dan disitu terdapat antrean panjang pekerjaan yang menunggu pengimplemenstasiannya.
  • Adanya timbunan pelayanan informasi ini merupakan sebab utama mengapa end-user computing menjadi popular, dimana pemakai menjadi tidak sabar dan memutuskan untuk melakukan pekerjaannya sendiri.
  • Faktor lain adalah murahnya dan mudahnya penggunaan hardware dan software. Pemakai dapat membeli PC dan beberapa software pengembangan aplikasi dengan hanya seribu dolar atau sekitarnya, seringkali tidak usah melalui channel yang resmi.
  • Pemahaman pemakai mengenai komputer dan informasi juga merupakan faktor menjadi populernya end-user computing ini. Sekarang semakin banyak pemakai yang telah mempelajari keterampilan komputer di sekolah dan mereka mempunyaikeyaknan yang kuat terhadap kemampuannya ini. Mereka tidak ragu-ragu lagi untuk mengembangkan dan membuat aplikasinya sendiri.
  • Beberapa pemakai terdorong oleh prospek mengenai diperolehnya kemampuan untuk melakukan kontrol yag lebih cermat atas komputerisasi mereka. Pandangan ini diakibatkan oleh ketidakpercayaan mereka terhadap pelayanan informasi. Mungkin ada beberapa kasu-kasus kesalahan dan penembusan keamanan dalam pelayanan informasi.
  • Pemakai mungkin juga terdorong untuk mengurangi biaya pemrosesan. Situadi ini terjadi dalam perusahaan yang memindahkan pembiayaan pengembangan dan penggunaan sistemkepada departemen yang memakai sistem tersebut, dan biaya tersebut diangap terlalu tinggi.
  • Pengaruh atau dorongan eksekutif juga merupakan faktor. Phillip Ein-Dor dan Eli Segev, profesor pada Tel Aviv Univeristy, mangumpulkan data dari 21 perusahaan d wilayah Los Angeles dan mendapatkan bahwa persentasi end-user manajemen dan non-manajemen akan lebih tinggi jika CEO adalah pemakai.
J. KEUNTUNGAN DARI END-USER COMPUTING
End-user computing memberikan keuntungan baik kepada perusahaan maupun pemakai.
Pertama, perusahaan akan memperoleh keuntungan dengan memindahkan beberapa muatan kerja dari bagian pelayanan informasi kepada end-user. Hal ini memungkinkan bagian pelayaan informasi untuk mengembangkan sistem organisasional yang mungkin lebih menjadi muatan kerja yang menumpuk selama beberapa bulan atau tahun. Ia juga memungkinkannya lebih mempunyai waktu untuk memelihara sistem yang telah berada pada komputer.
Kedua, tidak dikutsertakannya spesialis informasi dalam proses pengembangan bisa mengatasi masalah yang telah menggangu pengimpleentasian sepanjang era computer.